Lisan; Pedang Bermata Dua
“Mulutmu Harimaumu” atau “Lidah itu tajam laksana pedang” ideom-ideom yang mungkin tidak asing lagi bagi kita, menyiratkan akan pesan bahwa mulut dan lidah yang dzahirnya adalah organ yang tak bertulang tapi memiliki bahaya seganas harimau atau bisa melukai sebagaimana pedang tajam jika ia tidak dipergunakan dengan hati-hati dan bijak.
Bila lidah tak terkendali, dibiarkan berucap sekehendaknya, alamat kesengsaraan akan segera menjelang. Sebaliknya bila ia terkelola dengan baik , hemat dalam berkata, dan memilih perkataan yang baik-baik, maka sebuah alamat akan datangnya banyak kebaikan.
Lisan mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Melalui lisan, orang yang awalnya kafir bisa menjadi muslim yaitu dengan ucapan dua kalimat syahadahnya. Melalui lisan pula, orang yang awalnya adalah seorang muslim bisa menjadi kafir.
Dari ia Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata,
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang dia tidak tahu apakah itu baik atau buruk,ternyata menggelincirkannya ke dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat”.Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah, bahwasanya seyogyanya bagi setiap mukallaf hendaklah ia menjaga lisannya dari seluruh ucapan kecuali ucapan yang ada maslahat padanya. Apabila berbicara atau diam sama maslahatnya, maka yang sesuai sunnah adalah memilih diam. Karena terkadang ucapan yang mubah dapat menyeret kepada yang haram atau makruh, bahkan galibnya inilah yang terjadi, dan keselamatan tidak ada yang bisa menyamai harganya”.
Lisan Pembawa Kekafiran
Banyak orang yang memiliki persepsi bahwa ucapan-ucapan yang mengandung kekafiran, seperti mencela Allah Subhanahu wa Ta'ala atau Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam, atau mencela dien dan semisalnya, tidaklah menjadi sebab pelakunya kafir keluar dari Islam, selama di dalam hatinya masih ada keimanan. Anggapan ini tentu saja keliru karena bertentangan dengan nash dan apa yang telah ditetapkan ahlul ilmi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryah'.” (QS. Al-Ma`idah: 17)Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengucapkan perkataan kufur dengan lisannya, dalam keadaan sengaja dan tahu bahwa itu adalah ucapan kufur, maka ia telah kafir lahir dan batin. Tidak boleh bagi kita terlalu berlebihan sehingga harus dikatakan: 'Mungkin saja dalam hatinya ia mukmin'. Siapa yang mengucapkan (kekufuran) itu, maka sungguh dia telah keluar dari Islam.”
Beliaupun menjelaskan hal yang sama ketika membantah pendapat yang menyatakan bahwa ucapan lisan semata tidaklah menyebabkan kekafiran. Beliau berkata: “Sesungguhnya kita mengetahui bahwa orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya dalam keadaan sukarela bukan karena terpaksa, bahkan orang yang berbicara dengan kalimat-kalimat kufur dengan sukarela dan tidak dipaksa, serta orang yang mengejek Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya, maka dia telah kafir lahir batin.” (Majmu'ul Fatawa, 7/368)
Canda Berujung Petaka
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, "Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur'an ini (yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh." (Mendengar hal ini), Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata kepada orang tersebut, "Engkau dusta, kamu ini munafik. Akan aku laporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Maka Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Namun sebelum Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersendau gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai bahan bercanda mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, "Wahai Rasulullah, kami tadi hanyalah bersendau gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!" Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, "Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, ‘Kami tadi hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.’ Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah), "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah: 65-66). Beliau mengucapkan itu tanpa berpaling kepada orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu." (HR.Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang hasan)
Perkataan yang dianggap dan dengan niat bercanda saja bisa menyeret pelakunya pada kekafiran apalagi jika perkataan tersebut dilisankan dengan serius dan niat awalnya memang untuk mengolok-olok ataupun meremehkan agama Allah.
Kapan Bicara, Kapan Diam
Di saat kita hendak berkata-kata, tentunya kita harus berpikir untuk memilihkan hal-hal yang baik untuk lidah kita. Bila sulit mendapat kata yang indah dan tepat maka lebih baik diam.
Inilah realisasi dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam” (HR Muslim)Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, menjelaskan, “Maknanya, bahwa jika ia ingin berbicara, jika apa yang ingin ia bicarakan adalah baik, mendapatkan pahala, baik yang wajib atau mandub, maka hendaknya ia berbicara. Sebaliknya, jika tidak tampak bahwa itu baik dan mendapatkan pahala, hendaknya ia diam tidak berbicara, baik tampak bahwa itu adalah haram, makruh atau mubah yang memuat (kemungkinan) kedua sisi (baik dan buruk). Atas dasar ini, meninggalkan perkataan mubah itu adalah diperintahkan dan sunnah untuk menahan diri darinya karena khawatir terjerumus pada yang haram atau makruh. Inilah yang biasanya terjadi pada banyak orang.”
Jadi, hadits ini mengandung dua poin. Pertama: dorongan (perintah) untuk mengatakan yang baik, yaitu sesuatu yang diridhai Allah. Menurut al-Munawi, hadits ini memberi faedah bahwa perkataan yang baik itu lebih dikedepankan daripada diam karena perintah itu disebutkan lebih dulu, dan bahwa diam itu diperintahkan pada saat tidak berkata yang baik.
Kedua: perintah untuk diam, yaitu perintah untuk tidak mengatakan yang buruk, yang dibenci atau dimurkai oleh Allah.
Dengan demikian, setiap orang hendaknya berpikir dulu sebelum berbicara. Jika yang akan dia katakan diridhai Allah, menjelaskan kebenaran, mendorong orang untuk taat dan memperjuangkan syariah, amar makruf nahi mungkar, membela Islam dan kaum Muslim dan sebagainya maka yang seperti ini justru harus dikatakan dan tidak boleh diam.
Sebaliknya, jika yang akan dikatakan itu dibenci Allah; termasuk seruan kemaksiatan dan ketidaktaatan; memerintahkan yang mungkar dan melarang yang ma’ruf; membela dan mendorong kekufuran dan kesesatan; membuat orang meragukan Islam, al-Quran dan as-Sunnah; tidak membela Islam dan kaum Muslim bahkan sebaliknya meremehkan, melecehkan dan menyerang Islam dan kaum Muslim; dan sebagainya; maka yang diperintahkan adalah diam.
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk senantiasa membimbing amalan-amalan kita termasuk dalam menjaga lisan-lisan dari perkataan-perkataan yang tidak bermanfaat terlebih apa yang Dia murkai yang pada akhirnya bisa menyeret kita kepada neraka-Nya. Sebaliknya, mudah-mudahan lisan kita selalu dalam kebaikan, bermanfaat buat sesama dan agama kita dan menjadi salah satu sebab kita dalam menggapai surga-Nya. Amin.
Wallahu Muwaffiq
Kiriman alfathonah.blogspot.com