Minggu, 04 November 2012

Beda Mut'ah dengan Pelacuran

 
Selama ini saya mendapatkan banyak artikel yang menyamakan antara nikah mut’ah -sekarang ini- dengan pelacuran. Kita memang tidak bisa menampik jika banyak persamaan antara mut’ah dan pelacuran. Saya sendiri setuju-setuju saja penyamaan itu, tapi tidak fair juga kalau kita hanya mempersamakan namun tidak mengungkap perbedaannya. Apalagi jika perbedaannya adalah hal yang sangat mendasar dan krusial. Penasaran apa perbedaannya? Tenang, simak saja tulisan ini baik-baik.

Sebelum saya mengungkap perbedaan itu ada baiknya sebagai kilas balik kita memparkan sedikit persamaan antara nikah mut’ah dan pelacuran yang banyak disebut di artikel-artikel yang pernah saya baca – dan mungkin juga Anda. Berikut ini saya poin-poinkan saja:

- Bisa dilaksanakan tanpa persetujuan wali/ortu.
Dalam fikih mut’ah, wali dan saksi bukan persyaratan sahnya mut’ah. Begitupun dengan pelacuran. Coba, mana ada pelacur yang melapor dulu sama ortunya kalau dia mau dibooking oleh lelaki hidung belang?
Menurut cerita seorang ustadz, di kota Maros, seorang ibu sampai pingsan mendengar anak gadisnya yang kuliah di kota itu sudah menikah tanpa sepengetahuannya. Usut punya usut ternyata si gadis ini dimut’ah oleh laki-laki syi’ah.
- Berbatas waktu dan bayaran tertentu. 
Seorang pelacur dibooking dengan tarif dan waktu yang disepakati. Tidak ada bedanya dengan mut’ah, dimana bayaran dan waktunya sesuai yang disepakati oleh pasangan. Oh ya, jika pelacuran biasa juga mengandalkan manajer (baca: mucikari) untuk menentukan tarif mereka, maka mut’ah di zaman ini juga sudah dimanage dengan baik khususnya di Iran. Lembaga pencatatan pernikahan di sana juga sudah membuka layanan yaitu mencari perempuan-perempuan yang bersedia menjalani mut'ah, kemudian mereka menentukan tarif berdasarkan kesulitan mencari wanita yang bersangkutan. Tidak percaya? Lihat beritanya di sini http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/06/09/lmiu7r-aha-kawin-kontrak-di-iran-lebih-ngetren-ketimbang-nikah-permanen
Baik Pelacuran ataupun mut’ah tarif bisa berbeda berdasarkan jangka waktunya. Hitungan jam atau hari berbeda harganya dengan hitungan pekan atau bulan.
- Media penyebaran penyakit kelamin
Pelacuran dikenal sebagai modus penyebaran penyakit kelamin seperti gonorhe, syphilis, HIV/Aids. Ternyata tren mut’ah punya potensi yang sama untuk penyebaran penyakit-penyakit tersebut. Masuk akal sih, dalam setahun seorang laki-laki bisa memut’ah ratusan wanita semaunya. Dengan kata lain dalam setahun seorang wanita bisa dimut’ah oleh puluhan atau ratusan pria. Aslinya gonta ganti pasangan kan? Mirip pelacuran lah.
Dalam sebuah kisah nyata yang berjudul, “Akhir Petualangan si Pasien terakhir”, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung dibuat heran oleh seorang pasien yang berjilbab besar tapi mengidap penyakit yang biasanya hanya diidap oleh orang yang suka gonta-ganti pasangan. Ternyata “si akhwat” ini telah beberapa kali dimut’ah. (kisah tersebut bisa dilihat di sini : http://haulasyiah.wordpress.com/2009/08/28/akhir-petualangan-si-pasien-terakhir/)
- Tidak ada talak.
 Kalau di pelacuran memang tidak dikenal kata talak, tidak perlulah sebab memang bukan nikah, apalagi sampai di peradilan agama, ah gila amat! Prosesi mut’ah juga begitu, hubungan mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Kalau mau mengulang maka akad lagi dan bayar lagi. Seorang wanita bisa di mut’ah oleh laki-laki yang sama berkali-kali, begitupun pelacur bisa dibooking berkali-kali oleh langganannya.
Masih banyak persamaan antara mut’ah dengan pelacuran, tapi kita cukupkan sampai disini karena itu bukan persoalan utama yang akan saya bahas, justru saya ingin mengungkap perbedaannya sesuai judul dari tulisan ini. Untuk persamaan yang lain Anda bisa melihat fikih mut’ah di sini http://hakekat.com/content/view/30/1/ dan silahkan membandingkan sendiri dengan ‘fikih’ pelacuran.

Perbedaan mut’ah dan pelacuran
Pelacuran meskipun pelakunya sekarang ini naik tingkat ke kelas pekerja dengan istilah PSK (pekerja seks komersial) –istilah dulu WTS (wanita tuna susila)-, namun kalau ditanya bahwa apakah pekerjaan mereka dilarang oleh agama atau tidak? Saya yakin mayoritas mereka menjawab, “dilarang!”. Mereka dan para lelaki hidung belang akan mengakui bahwa yang mereka lakukan adalah perzinahan, dosa yang diancam neraka. Makanya mereka masih mengenal kata ‘TOMAT’ Tobat Maksiat. Kelemahan iman dan ketiadaan ilmulah sehingga mereka terjatuh dalam kenistaan tersebut. Sedangkan pelaku Mut’ah beda! Jsutru mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah ibadah yang mendatangkan pahala! 
"Siapa yang pernah melakukan mut'ah sekali, maka derajatnya sama dengan Husain, siapa yang pernah melakukan mut'ah dua kali derajatnya sama dengan derajat Hasan, barang siapa pernah melakukan mut'ah tiga kali derajatnya sama dengan derajat Ali bin Abi Thalib,dan barangsiapa pernah mut'ah empat kali maka derajatnya sama dengan aku." (Tafsir Minhajush Shodiqin, hal. 356, oleh Mullah Fathullah Kassani)

Dengan dalil hadits palsu tersebut semakin sering nikah mut’ah makin tinggi derajatnya dan tentu saja mereka merasa keimanannya makin mantap. Jadi tidak ada kata tobat dalam kamus pelaku mut’ah selama mereka menganggap bahwa mut’ah yang mereka lakukan adalah ibadah bukan maksiat!

Nah, jelas sekali perbedaannya kan? Ada yang bisa membantah? Silahkan kita diskusi di kolom kementar.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada para pelaku mut’ah dan pelacur. Amin. Amin. Amin.
Segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami petunjuk dimana tidak ada yang mampu memberi petunjuk selain dari-Nya.

Makassar, 19 Dzulhijjah 1432 H/4-11-2012

Zainal Lamu

Kiriman: alfathonah.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...