Rabu, 26 September 2012

Memaknai Cinta; Proses Manifestasi Kata

 
Banyak orang yang mengaku memiliki cinta, maka mereka dituntut untuk menyodorkan bukti pengakuan itu. Andaikan mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan pengakuannya, maka kesaksian mereka akan beragam. Lalu dikatakan, "Pengakuan ini tidak bisa diterima kecuali ada buktinya." Begitu kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarijus Salikin. Proses untuk menunjukkan sebuah bukti adalah sebuah kemutlakan dalam pengakuan kata cinta. Memaknai cinta adalah proses pembuktian kata-kata secara tulus. Karena dengan perbuatan akan nampak siapa pencinta sejati dan siapa yang berdusta dengan cintanya.

Memaknai Cinta 

Menurut bahasa, kata cinta (mahabbah) berkisar pada lima perkara: 1) Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang. 2) Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma'i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras. 3) Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba'ir, yang berarti onta yang sedang menderum dan tidak mau bangkit lagi. 4) Inti dan relung, seperti kata habbatul-qalbi, yang berarti relung hati. 5) Menjaga dan menahan, seperti kata hibbul-ma'i lil-wi'a', yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali, berharap sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan) dan susah hati (khawatir). Intinya menunjukkan bahwa cinta itu mengandung segala makna kasih sayang, penghargaan dan kerinduan juga mengandung makna persiapan untuk menempuh kehidupan dikala suka dan duka, lapang dan sempit. Secara sederhana cinta adalah fitrah terindah yang dianugrahkan Rabb Yang Maha Menciptakan cinta kepada manusia. Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah Shubhanahu Wata’ala di dalam jiwa manusia. Yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum (30): 21)

Setiap anak manusia yang telah mengenal kata cinta tentu memiliki pemaknaan tersendiri terhadap cinta. Ya, setiap kita berhak dan bebas memaknai cinta. Namun, jangan lupa bahwa setiap pemaknaan kata dan gerak bahkan setiap lintasan-lintasn pikiran punya konsekuensi dan harus siap mempertanggung jawabkannya. Maka pada “risalah cinta sederhana” ini, kami hendak menyuguhkan pemaknaan cinta yang teragung, tertinggi dan terindah. Makna cinta yang mampu memberikan keteduhan dan kedamaian dalam jiwa. Cinta yang rasanya manis, penuh dengan kelezatan dan siapa yang tidak memilikinya hidupnya adalah gelisahan dan penderitaan yang berkepanjangan. Cinta yang mampu memberikan kehidupan dan setiap orang yang tidak memilikinya bagaikan mayat yang berjalan. Cinta yang luasnya bagai lautan tak bertepi. Cinta yang mampu memberikan cahaya pada alirah darah, dalam daging dan persendian hingga cahaya dalam tempat penantian hari kebangkitan. Siapa yang tidak memiliki cinta ini seperti berada di tengah lautan yang gelap gulita. Cinta yang mengantarkan pada pertemuan dengan sang kekasih.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan. ”Demi Allah, para pemilik cinta telah pergi membawa kemuliaan dunia dan akhirat, sehingga akhirnya senantiasa bersama sang kekasih. Allah telah menetapkan bahwa seseorang itu bersama orang yang paling dicintainya. Sungguh ini merupakan kenikmatan tiada tara yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki cinta. Mereka memenuhi panggilan kerinduan, saat ada yang berseru kepada mereka, "Hayya alal-falah". Mereka rela mengorbankan jiwa agar bisa bersama sang kekasih. Pengorbanan ini dilakukan dengan suka rela dan ridha, rela melakukan perjalanan pada pagi dan petang hari.”

Dengarkanlah ungkapan cinta yang sangat indah dari seorang pemuda, sebagaimana pernah dituturkan oleh Abu Bakar Al-Kattany. "Di Makkah diadakan dialog tentang masalah cinta, tepatnya pada musim haji. Banyak syaikh yang mengungkapkan pendapatnya tentang cinta. Sementara Al-Junaid saat itu merupakan orang yang paling muda di antara mereka. Orang-orang berkata kepadanya, "Sampaikan pendapatmu wahai penduduk dari Irak." Beberapa saat Al- Junaid menundukkan pandangannya dan air matanya pun menetes perlahan-lahan. Dia berkata, "Cinta ialah jika seorang hamba lepas dari dirinya, senantiasa menyebut nama Rabb-nya, memenuhi hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan sepenuh hati, seakan hatinya terbakar karena cahaya ketakutan kepada-Nya, yang minumannya berasal dari gelas kasih sayang-Nya, dan Allah Yang Maha Perkasa menampakkan Diri dari balik tabir kegaiban-Nya. Jika berbicara atas pertolongan Allah, jika berucap berasal dari Allah, jika bergerak atas perintah Allah, jika dia beserta Allah, dia dari Allah, bersama Allah dan milik Allah." Mendengar ungkapannya ini semua syaikh yang hadir di sana menangis, dan mereka berkata, "Ungkapan ini sudah tidak memerlukan tambahan lagi. Semoga Allah melimpahkan pahala kepadamu wahai mahkota orang-orang yang arif."

Dengarkanlah ungkapan cinta Imam Syafi’i ketika ditanya oleh istrinya, “Suamiku apakah engkau mencintaiku?” Beliau menjawab, “Ya tentu saja, dirimu bagian dalam hidupku.” Mendengar itu istrinya bertanya, “Apakah engkau juga mencintai Allah? Bagaimana mungkin dua cinta menyatu dalam hati seorang mukmin, cinta kepada Allah dan juga mencintaiku?” beliau ternsenyum dan mengatakan kepada istrinya dengan pandangan mata yang lembut penuh kasih sayang. “Karena cintaku kepada Allah maka aku mencintai makhluknya, memperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang istriku, anak-anakku dan sesama. Aku mencintaimu karena cintaku kepada Allah.”

Proses Pembuktian Kata Cinta

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran(3): 31) Proses pembuktian kata cinta adalah proses memanifestasikan seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Shubhanahu wa ta'ala baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Jadi, proses pembuktian cinta yang sejati adalah proses pemurnian keyakinan bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah. Pemurnian penyembahan kepada Allah. Pengagungan nama-nama Allah yang sempurna. Lalu puncak pembuktian yang tertinggi adalah lewat proses pensucian jihad pada waktu dan tempat yang dibenarkan syariat. ”Mereka berjihad dijalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maaidah(5): 54). Cinta Allah itu merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya. la merupakan sifat Fi'liyah, yang muncul disebabkan dilaksanakannya perintah Allah, yaitu ibadah kepada Allah dengan baik dan perbuatan baik kepada hamba-hamba-Nya. "Dan Dia Maha Pengampun dan Maha Pencinta dengan kecintaan yang murni." (QS. Al-Buruuj(85) : 14) Al-Wudd artinya kecintaan yang bersih dan murni. Begitu kata Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah. Ibnu Qayyim berkata: "Ibadah kepada Ar-Rahman adalah cinta yang dalam kepada-Nya, beserta kepatuhan penyembah-Nya. Dua hal ini adalah ibarat dua kutub. Di atas keduanyalah orbit ibadah beredar. Ia tidak beredar sampai kedua kutub itu berdiri tegak. Sumbunya adalah perintah, perintah rasul-Nya. Bukan hawa nafsu dan syetan." Ibnu Qayyim menyerupakan beredarnya ibadah di atas rasa cinta dan tunduk bagi yang dicintai, yaitu Allah Subhanahu wa ta'ala dengan beredarnya orbit di atas dua kutubnya. Beliau juga menyebutkan bahwa beredarnya orbit ibadah adalah berdasarkan perintah rasul dan syari'atnya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena hal yang demikian bukanlah ibadah. Apa yang disyari'atkan baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam itulah yang memutar orbit ibadah. Ia tidak diputar oleh bid'ah, nafsu dan khurafat. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ”Tiga perkara, siapa yang apabila tiga perkara ini ada padanya, maka dia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) selain keduanya, dia mencintai seseorang dan tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia benci dilemparkan ke neraka." Memaknai cinta sebagai proses pembuktian kata, jikalau ia adalah pohon maka harus berakar dengan akar keikhlasan dan mencintai kekasih Sang Pencipta. Sebagaimana cinta Umar bin Khattab Radiallahu ’Anhu. Ibn Ma’bad bin Abdillah dari kakeknya (Abdullah ibn Hisyam) pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ketika itu Rasulullah memegang tangan Umar bin Khattab Radiallahu ‘Anhu. Maka Umar pun berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah. Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menanggapi, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Kemudian Umar pun berkata, ”Sejak saat ini engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri.” Maka Rasulullah pun menyambut, ”Ya begitu Umar (HR. Bukhari). Dalam hadist lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ”Tidaklah beriman kalian sampai aku lebih dicintai oleh kalian dari pada orang tua, anak dan segenap manusia. (HR. Bukhari)

Pembuktian Cinta Tidak Bisa Dibatasi

Cinta tidak bisa dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Cinta tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Cinta bisa menancap kuat dan akarnya bisa menembus bebatuan yang paling keras. Cabang-cabangnya menjulang tinggi hingga mencapai Sidratul-Muntaha. Ya cinta bisa menembus tujuh lapis. Maka sungguh menyedihkan sebagian orang yang hanya membuktikan cintanya sehari dalam setahun yakni pada setiap tanggal 14 februari atau cinta itu hanyalah sekedar perayaan. Kalaulah 14 februari memang ada sejarah cinta yang patut untuk dikenang, maka sungguh menyedihkan jika seorang mukmin ikut-ikutan mengenang apa yang dikenang oleh ummat di luar Islam dan tidak pernah dicontohkan oleh generasi terbaik Islam. ”Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama kami ini, sesuatu yang tidak ada dasar daripadanya maka itu pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tanggal 14 Februari 269 M adalah hari dihukum pancungnya seorang pendeta bernama Santo Valentine’s oleh seorang Raja Romawi bernama Claudus II Ghoticus karena menikahkan seorang prajurit muda yang sedang menjalani cinta kasih. Sementara tindakan ini dianggap bertentangan dengan ketentuan kerajaan. Bagi pihak gereja, tindakan tersebut dianggap sebagai pahlawan sehingga Santo Valentine’s dinobatkan sebgai pahlawan kasih sayang dan hari digantungnya diperingati sebagai hari kasih sayang. Membatasi cinta dengan hari atau dengan batasan-batasan apa pun itu akan membuat cinta semakin sulit dideteksi dan tersembunyi bahkan cinta akan ternodai. Kata Ibnu Qayyim, ”Batasan cinta adalah keberadaannya. Tidak ada sifat yang lebih pas untuk cinta selain dari kata cinta itu sendiri. Manusia hanya sekedar bicara tentang sebab, pendorong, tanda, bukti, buah dan hukum-hukumnya. Batasan diri mereka berkisar pada enam unsur ini, dan pengungkapan mereka berbeda-beda, tergantung dari batas pengetahuan, kedudukan, keadaan dan kemampuan masing-masing dalam mengungkapkan cinta.” Berarti, mengenal cinta butuh tarbiyah. Wallahu ’Alam.

Subhan Husain

Link sumber: http://tauhidmission.blogspot.com/2012/02/memaknai-cinta-proses-pembuktian-kata.html

0 komentar:

Posting Komentar

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...