Saya tidak akan menanggapi secara detail dan menyeluruh, hanya catatan dari beberapa kejanggalan yang saya tangkap dari tulisan tersebut.
Sebenarnya uneg-uneg ini telah lama ada semenjak saya membaca artikel tersebut, namun karena beberapa kesibukan akhirnya saya tunda dan baru bisa menuliskannya setelah ada kesempatan.
Dari penilaian saya secara umum, Ismail berusaha untuk memberikan fakta-fakta kepada pembaca bahwa Syi’ah yang sekarang dianggap sebagai aliran sempalan dan berbahaya oleh masyarakat sunni di Indonesia justeru adalah agama ”nenek moyang” bangsa Indonesia sendiri dan jika menolaknya sama saja mengabaikan dan tidak menghargai budaya nenek moyang bangsa Indonesia.
Bagi pembaca dengan modal ilmu agama yang pas-pasan dan akidah yang rapuh boleh jadi akan tergugah dengan tulisan tersebut. Tapi jelas ini adalah manhaj (metodologi) beragama yang salah dan dicela oleh Allah, dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya “Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).
Selain itu, Al-Qur’an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan,
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36).
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam pun berpesan kepada kita “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang. Sesungguhnya yang ada hanyalah seorang mukmin yang bertakwa atau pendurhaka yang tercela. Manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam kecuali dengan takwa” (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dan lainnya).
Jika sejarah dirunut lebih ke belakang, jauh sebelum ”Syi’ah” –sebagaimana anggapan Ismail- datang ke negeri ini, agama nenek moyang kita adalah mayoritas Hindu dan beberapa aliran kepercayaan bahkan paganisme. Pertanyaannya adalah apakah ketika ada misionaris Hindu yang berusaha untuk menyebarkan agamanya di tengah kaum muslimin bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja dan tidak membahayakan dengan alasan mereka juga adalah agama nenek moyang kita?
Kita baru berbicara metode, belum subtansi ajarannya.
Imam Syafi’i Rahimahullah adalah Syi’ah?
Hal yang paling menggelikan buat saya dari tulisan tersebut adalah ketika Ismail juga berusaha memberikan pendekatan bahwa madzhab syafi’i yang mayoritas dianut di Indonesia dipengaruhi oleh ajaran syi’ah, seperti barzanji, wirid-wirid, membuat kubah di kuburan dsb. Lagi-lagi Ismail meluputkan pembaca dari masalah subtansi;. Satu lagi pertanyaan, Apakah memang betul itu adalah ajaran Imam Syafi’i?
Barzanji sendiri baru ada sekitar tahun 1180 M atau kurang lebih 3 abad setelah Imam Syafi’i meninggal dunia, bagaimana ia bisa dianggap sebagai bagian dari madzhab Imam Syafi’i?
Imam Syafi’i rahimahullah sebagai salah satu Imam Ahlusunnah dikenal tegar dalam memperjuangkan dan membela sunnah dan membenci segala bentuk dan perilaku bid’ah dan kesyirikan mustahil jika beliau membolehkan wirid-wirid bid’ah apalagi mengagung-agungkan kuburan dengan membangun kubah di atasnya sebagaimana tradisi Syi’ah –seharusnya Ismail membaca buku ”Aqidah 4 Imam Madzhab-. Sebenarnya usaha seperti yang Ismail lakukan ini bukanlah hal yang baru, ini telah dilakukan oleh orang-orang syi’ah sejak dulu, misalnya adanya klaim dari syi’ah bahwa Imam Syafi’i memiliki pemahaman kesyi’ah-syi’ahan. Dalil yang mereka sering angkat adalah syair dari Imam syafi’i yang mengatakan, "Jika benar Syi’ah Rafidhah itu adalah cinta keluarga Muhammad… maka hendaklah jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalah orang Syi’ah Rafidhah.”
Sayang, syair yang dibuat Imam Syafi'i itu justru untuk mempermalukan mereka sebagaimana yang menimpa kafir Ahlul Kitab yang menganggap bahwa Allah punya anak, Allah azza wa Jalla menyindir mereka;
”Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)." (QS Az-Zukhruf: 81).
Dan perhatikanlah perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Syi'ah Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)
Syi’ah Akar Penyempalan Madzhab
Di akhir tulisan tersebut secara tidak langsung Ismail mengklaim bahwa semua tradisi-tradisi bid’ah dan kesyirikan khususnya di tanah air ini, mulai dari barzanji, wirid-wirid dan segala bentuk bid’ah bahkan sampai taraf syirik, seperti mengambil berkah di kuburan, ajaran wihdatul wujud atau Manunggal ing Kawula Gusti adalah asli produk syi’ah.
Kalaupun kemudian dikatakan bahwa terjadi sinkritisme antara madzhab Syafi’i di Indonesia dengan tradisi Syi’ah maka saya berterima kasih kepada Ismail atas artikel yang ia buat karena membuat cakrawala berpikir saya semakin terbuka. Ternyata Syi’ah tidak jauh beda dari induk semangnya, Yahudi la’natullah ’alaihi. Yahudi merupakan sang akar pembelotan agama samawi dari ajaran tauhidnya, dan Syi’ah yang merupakan representasi keberhasilan misi Yahudi dalam menghancurkan Islam juga berbuat sama yakni menyempalkan ajaran madzhab dalam hal ini madzhab syafi’i dari ajaran sebenarnya.
Nyatanya saya semakin mengenal Syi’ah tapi kemurnian tauhid saya –mudah-mudahan- dengan tegas mengatakan, "Saya semakin membenci Syi’ah".
Wallahu muwaffiq.
0 komentar:
Posting Komentar